Senin, 25 November 2013

SECERCAH IMPIAN DALAM ANGAN



Musim liburan telah tiba. Pada saat musim liburan tiba, jalan-jalan akan penuh sesak oleh kendaraan. Kendaraan yang berlalu-lalang ikut memeriahkan tradisi musim liburan. Sebagian besar orang berpergian ke  berbagai tempat wisata untuk mengisi waktu liburan.
Semuanya, kendaraan-kendaraan itu berjalan lirih dalam lahan berwarna hitam yang ditengahnya ada garis putus-putus berwarna putih. Di kanan kiri jalan ada berbagai penjual yang memasarkan dagangannya, mulai dari toko sampai pedagang asongan.
Waktu itu setelah aku dan ayah pulang dari rumah Encang Gondut untuk meminjam uang demi membayar SPP sekolahku, kami melewati  jalan raya yang ramai sekali. Sepeda kami melaju di sela-sela kendaraan yang sedang macet. Setelah melewati jalan yang penuh sesak kami melewati
areal persawahan, yang suasananya sungguh bertolak belakang dengan yang tadi.
Sesampainya di rumah, aku izin orang tua untuk bermain di sawah dengan teman-temanku. Kami anak-anak dari kampung Ginuk suka bermain di sawah. Sehabis pulang sekolah kami sering meluangkan waktu untuk mampir di base camp kami.
Hari ini kami ingin menghilangkan stres akibat Ujian Semester I kemarin. Sejenak kami berbaring . Terpaan angin yang begitu lembut dan cuaca yang cerah, dipadu dengan pemandangan yang sangat mengagumkan memberikan kenyamanan dalam jiwa. Tiba-tiba suasana yang hening pecah saat salah satu dari kami ada yang bertanya.
“Kita sudah kelas 12 dan kita sudah memasuki semester II, bagaimana ya masa depan kita nanti?” tanya Alam.
“Aku ingin menjadi seorang progammer yang handal,” jawab Rijal.
“Aku ingin menjadi seorang guru,” Aku jawab pertanyaan Alam.
“Aku sendiri ingin jadi pengusaha sukses,” Alam tidak ingin kalah dari Rijal dan Aku.
“Jangankan mikirin masa depan, kita saja bayar SPP sekolah belum tentu bisa, kita sudah nunggak tiga bulan belum bayar SPP sekolah...” sahut Ary’.
                “Iya benar juga kamu Ry’,  kalo kita tidak bisa bayar SPP sekolah maka kita tidak boleh ikut ujian, jadi akan sia-sia sekolah kita jika kita tidak lulus” tambah rijal.
                “Oh Tuhan kenapa kita menjadi orang miskin, jangankan mewujudkan mimpi kita, bayar SPP sekolah saja kita tidak mampu bahkan kita hampir dikeluarin dari sekolah” keluh Ary’.
                “Sudah jangan mengeluh, mimpi itu tidak akan menjadi kenyataan jika kita hanya bisa mengeluh” Alam memberi nasehat kepada Ary’.
                “Iya Ry’ kita harus percaya pada mimpi-mimpi kita, aku yakin kita pasti bisa menghadapi semua ini” Rijal memberikan semangat pada kami semua.
                Aku pun hanya terdiam mendengarkan mereka saling bersahutan layaknya burung yang sedang diperlombakan. Aku terdiam dan hanya memandang langit biru yang dihiasi oleh berbagai macam bentuk awan. Aku melihat awan yang berbentuk kendaraan. Dalam pikiranku langsung terbesit jalan raya yang sangat ramai tadi, dan aku pikir kalau itu bisa dijadikan sebagai sarana mengaes rezeki.
                “Aku ada ide! Bagaimana jika kita usaha dijalan raya, ini kan musim liburan, aku lihat banyak  orang yang sedang berpergian waktu musim libur kayak gini, gimana?” Aku katakan apa yang terlintas dipikiranku.
                “haha..jangan bercanda kamu Bun, emang kita bakalan berhasil dengan berjualan di jalan raya?” ledek Ary’.
                “Iya Bun, memang kamu yakin dengan idemu ini?” tanya Alam dengan wajah yang ragu.
                “Ya aku sendiri juga gak terlalu yakin sih, tapi apa salahnya coba jika kita mencobanya? Apa kita hanya diam saja dan tidak ingin mewujudkan mimpi kita?”  sanggah Rijal.
                Kami semua berdiri dan kami sepakat untuk berjualan di jalan raya. Karena di jalan macet dan cuaca sangat panas kami memutuskan untuk berjualan kipas dan minuman.
                Kami pulang ke rumah masing-masing dan memecah celengan yang berisikan beberapa uang recehan, kemudian kami kumpulkan bersama. Dengan semangat dan harapan yang tinggi tentang mimpi-mimpi kami, kami memulai usaha ini.
                Hari pertama bukan untung yang kami dapat, tetapi cacian yang sangat menusuk hati. Tanpa lelah kami terus mejual dagangan kami. Cucuran keringat bagaikan air minum yang berasa asin.
                Hari kedua kami berusaha lebih giat lagi. Dengan baju yang sangat jauh sekali dari kata mewah kami merajut asa. Debu dan kepulan asap kendaraan sudah bagaikan bedak bagi wajah-wajah kami. Meskipun hari ini mendapat untung sedikit tetapi kami bersyukur atas rezeki yang halal.
                Hari selanjutnya, kami berusaha seperti biasa. Namun tiba-tiba kepalaku terasa pusing, mungkin karena terlalu sering menghisap asap kendaraan. Akhirnya aku cuma menunggu mereka bertiga yang sedang berjualan.
                Hari demi hari terus berganti, recehan demi recehan kami kantongi. Usaha kita semakin berkembang. Waktu jualan bukan hanya waktu musim liburan saja melainkan setiap hari sepulang sekolah. Namun kesibukan itu tidak mengurangi semangat kami untuk belajar.
                Minggu demi minggu, bulan demi bulan telah terlewati. Ujian akhir tinggal beberapa hari. Uang yang telah terkumpul selama ini sudah mampu membantu orang tua untuk membayar SPP. Hasil kerja keras kami sudah kami tukar dengan selembar kertas saja, yaitu kartu ujian.
                Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sehari sebelum menjelang ujian akhir kami memutuskan untuk berkumpul di tempat kami biasa. Di sawah tersebut ada pohon rindang yang kami namakan pohon kenangan. Di situlah kami menuliskan nama dan impian-impian kami.
                “Besok kita semua akan menghadapi ujian akhir, kita jangan sampai lupa dengan kerja keras kita selama ini. Kita tulis nama dan impian kita di pohon ini dan kita akan berjanji suatu hari nanti kita akan kembali lagi ke tempat ini dengan membawa impian-impian kita yang sudah terwujud.” Kata Alam.
“Sahabat-sahabatku terima kasih telah memberikanku pelajaran yang sangat berharga, tanpa kalian aku belum tentu bisa menggapai impianku.” Kata Ary’.
“Uhukk.. Uhuukk.. Uhuuukkk.. Uhuuukkk....” Batukku tidak bisa kusembunyikan lagi.
“Bun, kamu gak apa-apa Bun?” Tanya Alam.
“Iya aku gak apa-apa kok” Jawabku sambil tersenyum.
“Pokoknya kita jangan lupakan tentang cerita kita ini dan yang terpenting  jangan lupakan tentang persahabatan kita.” Kata Rijal.
“Iya janji!!!” Serentak kami semua menjawab.
Setelah itu kami menghadapi ujian akhir dan kami mendapat nilai yang membanggakan. Namun itu tidak membuat kami senang karena kami harus berpisah untuk mewujudkan impian kita masing”. Perpisahan merupakan hal terberat dalam hidup ini.
Waktu terus berjalan dan semakin lama aku sudah tidak sanggup lagi menahan sakit yang aku derita selama ini. Sebelum aku meninggal  aku minta kepada orang tuaku agar aku di makamkan di bawah pohon kenangan. Dan akhirnya waktu itu datang juga, Aku akhirnya meninggal dunia.
Ketiga sahabatku sedih mendengar berita tentang kematianku dan mereka memutuskan untuk pergi ke pohon kenangan dimana kami dulu menuliskan tentang impian-impian besar kami.
“Bun..kami senang bisa mewujudkan impian-impian kami. Terima kasih atas semuanya. Meskipun engkau belum bisa mewujudkan impianmu untuk menjadi guru, tetapi bagi kami engkaulah guru terbaik bagi kami.” Itulah kata-kata terakhir dari sahabat-sahabat terbaikku.

5 komentar: