Semuanya, kendaraan-kendaraan itu
berjalan lirih dalam lahan berwarna hitam yang ditengahnya ada garis
putus-putus berwarna putih. Di kanan kiri jalan ada berbagai penjual yang
memasarkan dagangannya, mulai dari toko sampai pedagang asongan.
Waktu itu setelah aku dan ayah
pulang dari rumah Encang Gondut untuk meminjam uang demi membayar SPP
sekolahku, kami melewati jalan raya yang
ramai sekali. Sepeda kami melaju di sela-sela kendaraan yang sedang macet.
Setelah melewati jalan yang penuh sesak kami melewati
areal persawahan, yang suasananya sungguh bertolak belakang dengan yang tadi.
areal persawahan, yang suasananya sungguh bertolak belakang dengan yang tadi.
Sesampainya di rumah, aku izin orang
tua untuk bermain di sawah dengan teman-temanku. Kami anak-anak dari kampung
Ginuk suka bermain di sawah. Sehabis pulang sekolah kami sering meluangkan
waktu untuk mampir di base camp kami.
Hari ini kami ingin menghilangkan
stres akibat Ujian Semester I kemarin. Sejenak kami berbaring . Terpaan angin
yang begitu lembut dan cuaca yang cerah, dipadu dengan pemandangan yang sangat
mengagumkan memberikan kenyamanan dalam jiwa. Tiba-tiba suasana yang hening
pecah saat salah satu dari kami ada yang bertanya.
“Kita sudah kelas 12 dan kita
sudah memasuki semester II, bagaimana ya masa depan kita nanti?” tanya Alam.
“Aku ingin menjadi seorang
progammer yang handal,” jawab Rijal.
“Aku ingin menjadi seorang guru,”
Aku jawab pertanyaan Alam.
“Aku sendiri ingin jadi pengusaha
sukses,” Alam tidak ingin kalah dari Rijal dan Aku.
“Jangankan mikirin masa depan,
kita saja bayar SPP sekolah belum tentu bisa, kita sudah nunggak tiga bulan
belum bayar SPP sekolah...” sahut Ary’.
“Iya
benar juga kamu Ry’, kalo kita tidak
bisa bayar SPP sekolah maka kita tidak boleh ikut ujian, jadi akan sia-sia
sekolah kita jika kita tidak lulus” tambah rijal.
“Oh
Tuhan kenapa kita menjadi orang miskin, jangankan mewujudkan mimpi kita, bayar
SPP sekolah saja kita tidak mampu bahkan kita hampir dikeluarin dari sekolah”
keluh Ary’.
“Sudah
jangan mengeluh, mimpi itu tidak akan menjadi kenyataan jika kita hanya bisa
mengeluh” Alam memberi nasehat kepada Ary’.
“Iya
Ry’ kita harus percaya pada mimpi-mimpi kita, aku yakin kita pasti bisa
menghadapi semua ini” Rijal memberikan semangat pada kami semua.
Aku pun
hanya terdiam mendengarkan mereka saling bersahutan layaknya burung yang sedang
diperlombakan. Aku terdiam dan hanya memandang langit biru yang dihiasi oleh
berbagai macam bentuk awan. Aku melihat awan yang berbentuk kendaraan. Dalam
pikiranku langsung terbesit jalan raya yang sangat ramai tadi, dan aku pikir
kalau itu bisa dijadikan sebagai sarana mengaes rezeki.
“Aku
ada ide! Bagaimana jika kita usaha dijalan raya, ini kan musim liburan, aku
lihat banyak orang yang sedang
berpergian waktu musim libur kayak gini, gimana?” Aku katakan apa yang terlintas
dipikiranku.
“haha..jangan
bercanda kamu Bun, emang kita bakalan berhasil dengan berjualan di jalan raya?”
ledek Ary’.
“Iya
Bun, memang kamu yakin dengan idemu ini?” tanya Alam dengan wajah yang ragu.
“Ya aku
sendiri juga gak terlalu yakin sih, tapi apa salahnya coba jika kita
mencobanya? Apa kita hanya diam saja dan tidak ingin mewujudkan mimpi
kita?” sanggah Rijal.
Kami
semua berdiri dan kami sepakat untuk berjualan di jalan raya. Karena di jalan
macet dan cuaca sangat panas kami memutuskan untuk berjualan kipas dan minuman.
Kami
pulang ke rumah masing-masing dan memecah celengan yang berisikan beberapa uang
recehan, kemudian kami kumpulkan bersama. Dengan semangat dan harapan yang
tinggi tentang mimpi-mimpi kami, kami memulai usaha ini.
Hari
pertama bukan untung yang kami dapat, tetapi cacian yang sangat menusuk hati.
Tanpa lelah kami terus mejual dagangan kami. Cucuran keringat bagaikan air
minum yang berasa asin.
Hari
kedua kami berusaha lebih giat lagi. Dengan baju yang sangat jauh sekali dari
kata mewah kami merajut asa. Debu dan kepulan asap kendaraan sudah bagaikan
bedak bagi wajah-wajah kami. Meskipun hari ini mendapat untung sedikit tetapi
kami bersyukur atas rezeki yang halal.
Hari
selanjutnya, kami berusaha seperti biasa. Namun tiba-tiba kepalaku terasa
pusing, mungkin karena terlalu sering menghisap asap kendaraan. Akhirnya aku
cuma menunggu mereka bertiga yang sedang berjualan.
Hari
demi hari terus berganti, recehan demi recehan kami kantongi. Usaha kita
semakin berkembang. Waktu jualan bukan hanya waktu musim liburan saja melainkan
setiap hari sepulang sekolah. Namun kesibukan itu tidak mengurangi semangat
kami untuk belajar.
Minggu
demi minggu, bulan demi bulan telah terlewati. Ujian akhir tinggal beberapa
hari. Uang yang telah terkumpul selama ini sudah mampu membantu orang tua untuk
membayar SPP. Hasil kerja keras kami sudah kami tukar dengan selembar kertas
saja, yaitu kartu ujian.
Tak
terasa waktu berjalan begitu cepat. Sehari sebelum menjelang ujian akhir kami
memutuskan untuk berkumpul di tempat kami biasa. Di sawah tersebut ada pohon
rindang yang kami namakan pohon kenangan. Di situlah kami menuliskan nama dan
impian-impian kami.
“Besok
kita semua akan menghadapi ujian akhir, kita jangan sampai lupa dengan kerja
keras kita selama ini. Kita tulis nama dan impian kita di pohon ini dan kita
akan berjanji suatu hari nanti kita akan kembali lagi ke tempat ini dengan
membawa impian-impian kita yang sudah terwujud.” Kata Alam.
“Sahabat-sahabatku terima kasih telah
memberikanku pelajaran yang sangat berharga, tanpa kalian aku belum tentu bisa
menggapai impianku.” Kata Ary’.
“Uhukk.. Uhuukk.. Uhuuukkk..
Uhuuukkk....” Batukku tidak bisa kusembunyikan lagi.
“Bun, kamu gak apa-apa Bun?”
Tanya Alam.
“Iya aku gak apa-apa kok” Jawabku
sambil tersenyum.
“Pokoknya kita jangan lupakan
tentang cerita kita ini dan yang terpenting
jangan lupakan tentang persahabatan kita.” Kata Rijal.
“Iya janji!!!” Serentak kami
semua menjawab.
Setelah itu kami menghadapi ujian
akhir dan kami mendapat nilai yang membanggakan. Namun itu tidak membuat kami
senang karena kami harus berpisah untuk mewujudkan impian kita masing”.
Perpisahan merupakan hal terberat dalam hidup ini.
Waktu terus berjalan dan semakin
lama aku sudah tidak sanggup lagi menahan sakit yang aku derita selama ini.
Sebelum aku meninggal aku minta kepada
orang tuaku agar aku di makamkan di bawah pohon kenangan. Dan akhirnya waktu
itu datang juga, Aku akhirnya meninggal dunia.
Ketiga sahabatku sedih mendengar
berita tentang kematianku dan mereka memutuskan untuk pergi ke pohon kenangan
dimana kami dulu menuliskan tentang impian-impian besar kami.
“Bun..kami senang bisa mewujudkan
impian-impian kami. Terima kasih atas semuanya. Meskipun engkau belum bisa
mewujudkan impianmu untuk menjadi guru, tetapi bagi kami engkaulah guru terbaik
bagi kami.” Itulah kata-kata terakhir dari sahabat-sahabat terbaikku.
done. follow me back putrisalimin.blogspot.com
BalasHapusHuuuuuuwwwww.....
Hapusgek yo crito opo? :P
BalasHapuscerito aleeey
BalasHapusaku moco ogak terinspirasi i --''
BalasHapus